Pendahuluan
Pelaksanaan keselamatan dan kesehatan
kerja adalah salah satu bentuk upaya untuk menciptakan tempat kerja yang aman,
sehat, bebas dari pencemaran lingkungan, sehingga dapat mengurangi dan atau
bebas dari kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja yang pada akhirnya dapat
meningkatkan efisiensi dan produktivitas kerja.
Kecelakaan kerja tidak hanya menimbulkan
korban jiwa maupun kerugian materi bagi pekerja dan perusahaan (tempat kerja),
tetapi juga dapat mengganggu proses produksi secara menyeluruh, merusak
lingkungan yang pada akhirnya akan berdampak pada masyarakat luas.
Dewasa ini pembangunan nasional
tergantug banyak kepada kualitas, kompetensi dan profesionalisme sumber daya
manusia yang termasuk praktisi keselamatan dan kesehatan kerja (K3). Pada
hakikatnya kesehatan kerja mempelajari semua faktor yang berhubungan dengan
pekerjaan, metode kerja, kondisi kerja, dan lingkungan kerja yang mungkin dapat
menyebabkan penyakit, kecelakaan, atau gangguan kesehatan lain. Secara
bertahap, lingkup tersebut diperluas sebagai hasil-hasil penelitian yang
memperjelas akan pentingnya ketiga elemen tersebut serta kaitannya terhadap
hubungan timbal balik antara pekerjaan dengan berbagai kendala yang ada di
dalam pekerjaan di satu pihak, dan manusia yang melaksanakan pekerjaan dengan
kendala yang terjadi di dalam pekerjaan di lain pihak.
Pekerja di dunia berjumlah 2,7 milyar,
312.000 mati akibat kecelakaan kerja, sedangkan di Amerika serikat dari 150
juta pekerja hanya 6000 mati karena kecelakaan kerja, 10 juta DALYs (Ezzaty
dkk, 2004 dalam Arif 2010).
Dewan keselamatan dan kesehatan kerja
nasional, Dr. Harjono, Msc, mengatakan bahwa berdasarkan data ILO (2003) setiap
tahun di dunia terjadi 270 juta kecelakaan kerja, 160 juta pekerja menderita
penyakit akibat kerja, kematian 2,2 juta serta kerugian finansial sebesar 1,25
triliun USD. Di Indonesia menurut data PT. Jamsostek (persero) dalam periode
2002-2005 terjadi lebih dari 300 ribu kecelakaan kerja, 5000 kematian, 500
cacat tetap dan kompensasi lebih dari Rp. 550 milyar.
Menurut menteri kesehatan dr. Endang R.
Sedyaningsih, Peningkatan jumlah sarana pelayanan kesehatan dalam dua dekade
terakhir belum diikuti peningkatan kualitas layanan medik. Hal ini dapat
dilihat dari 1.292 rumah sakit yang ada di seluruh Indonesia baru 60 persen
diantaranya yang terakreditasi. Dari yang sudah terakreditasi pun belum
semuanya menerapkan prosedur perlindungan pasien.
Data empirik membuktikan masalah medical
error (kesalahan medis) sering terjadi dalam derajat yang beragam, menurut
laporan IOM (Institute of Medicine) menyebutkan bahwa Amerika Serikat setiap
tahun terjadi 48.000 hingga 100.000 pasien meninggal dunia akibat kesalahan
medis.
A. Keselamatan dan Kesehatan Kerja
Kesehatan kerja adalah suatu upaya untuk
peningkatan dan pemeliharaan derajat kesehatan (fisik, mental dan sosial) yang
setinggi-tingginya bagi pekerja di semua tingkatan, pencegahan penyimpangan
kesehatan yang disebabkan oleh kondisi pekerjaan, perlindungan pekerjaan dan
risiko akibat faktor yang merugikan kesehatan, penempatan dan pemeliharaan
pekerja dalam suatu lingkungan kerja yang adaptif antara pekerjaan dengan
manusia dan manusia dengan pekerjaannya (WHO & ILO, 1995).
Berdasarkan teori Maslow, keamanan kerja
merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia yang dapat mempengaruhi motivasi
dan kepuasan kerja. Secara sosial, pekerja merupakan aset masyarakat sebagai
subyek dalam usaha meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu,
perusahaan (tempat kerja) berkewajiban melakukan berbagai kegiatan dalam
meningkatkan keselamatan dan kesehatan kerja.
Secara umum, kewajiban kewajiban
perusahaan dalma meningkatkan keselamatan kerja dapat disimpulkan sebagai
berikut:
1. Memelihara tempat kerja yang aman dan sehat bagi
pekerja.
2. Mematuhi standar dan syarat kerja.
3. Mencatat semua peristiwa kecelakaan yang terjadi
terkait keselamatan kerja.
Secara spesifik kewajiban tersebut
diatur dalam Undang-Undang No. 1 tahun 1970 pasal 3 ayat 1 tentang Keselamatan
dan Kesehatan Kerja, yaitu:
1. Mencegah dan mengurangi kecelakaan.
2. Mencegah, mengurangi, dan memadamkan kebakaran.
3. Mencegah dan mengurangi bahaya peledakan.
4. Memberi kesempatan atau jalan menyelamatkan pada waktu
kebakaran atau kejadian-kejadian lain yang berbahaya.
5. Memberi pertolongan pada kecelakaan.
6. Memberi alat-alat pelindung diri pada pekerja.
7. Mencegah dan mengendalikan timbul atau menyebar
luasnya suhu, kelembaban, debu, kotoran asap, uap, gas, hembusan angin, cuaca,
sinar atau radiasi, suara dan getaran.
8. Mencegah dan mengendalikan timbulnya penyakit akibat
kerja baik fisik maupun psikis, peracunan, infeksi dan penularan.
9. Memperoleh penerangan yang cukup dan sesuai.
10. Menyelenggarakan suhu dan lembab udara yang baik.
11. Menyelenggarakan penyegaran udara yang cukup.
12. Memelihara kebersihan, kesehatan, dan ketertiban.
13. Memperoleh keserasian antara tenaga kerja, alat kerja,
lingkungan, cara, dan proses kerjanya.
14. Mengamankan dan memperlancar pengangkutan orang,
binatang, tanaman dan barang.
B. Nosokomial Infeksi
Nosokomial berasal dari bahasa Yunani nosos
yang artinya penyakit dan komeo yang berarti merawat. Nosokomion
berarti tempat untuk merawat/rumah sakit. Jadi infeksi nosokomial dapat
diartikan sebagai infeksi yang diperoleh atau terjadi di rumah sakit.
Infeksi nosokomial saat ini merupakan
salah satu penyebab meningkatnya angka kematian (morbidity) dan angka
kematian (mortality) di rumah sakit, sehingga dapat menjadi masalah
kesehatan baru, baik di negara berkembang maupun di negara maju.
Infeksi nosokomial dikenal pertama kali
pada tahun 1847 oleh Semmelweis dan hingga saat ini tetap menjadi masalah yang
cukup menyita perhatian. Sejak tahun 1950 infeksi nosokomial mulai diteliti
dengan sungguh-sungguh di berbagai negara, terutama di amerika serikat dan
Eropa. Insiden infeksi nosokomial berlainan antara satu rumahsakit dengan rumah
sakit lainnya. Angka infeksi nosokomial yang tercatat di beberapa negara
berkisar antara 3,3%-9,2%, artinya sekian persen penderita yang dirawat tertular
infeksi nosokomial dan dapat terjadi secara akut atau kronis.
Saat ini, angka kejadian infeksi
nosokomial telah dijadikan salah satu tolok ukur mutu pelayanan rumah sakit.
Izin operasional sebuah rumah sakit bisa dicabut karena tingginya angka
kejadian infeksi nosokomial. Bahkan pihak asuransi tidak mau membayar biaya
yang ditimbulkan akibat infeksi nosokomial sehingga pihak penderita sangat
dirugikan.
Faktor-faktor yang berpengaruh dalam
proses terjadinya infeksi nosokomial terdiri dari banyak faktor (multy factors)
yakni faktor dari luar penderita (extrinsic factors) dan faktor dari
dalam diri penderita (intrinsic factors), sebagai berikut:
Faktor
luar (extrinsic factors)
a. Petugas pelayanan medis
Dokter,
perawat, bidan, tenaga laboratorium, dan sebagainya.
b. Peralatan dan material medis
Jarum,
kateter, instrumen, respirator, kain/doek, kassa, dan lain-lain.
c. Lingkungan
Berupa
lingkungan internal seperti ruangan perawatan, kamar bersalin, dan kamar bedah.
Sedangkan lingkungan eksternal adalah halaman rumah sakit dan tempat pembuangan
sampah/pengolahan limbah.
d. Makanan/minuman
Hidangan
yang disajikan setiap saat kepada penderita.
e. Penderita lain
Keberadaan
penderita lain dalam satu kamar/ruangan perawatan dapat merupakan sumber
penularan.
f. Pengunjung/keluarga
Keberadaan
tamu/keluarga dapat merupakan sumber penularan.
Faktor dari dalam diri
penderita (intrinsic factors)
a. Faktor yang ada dari dalam diri penderita seperti
umur, jenis kelamin, kondisi umum penderita, risiko terapi, atau adanya penyakit
lain yang menyertai penyakit dasar (multipatologi) beserta komplikasinya.
Faktor-faktor ini merupakan faktor predisposisi.
b. Faktor keperawatan seperti lamanya hari perawatan (length
of stay), menurunnya standar pelayanan perawatan, serta padatnya penderita
dalam satu ruangan.
c. Faktor mikroba patogen seperti tingkat kemampuan
invasi serta tingkat kemampuan merusak jaringan, lamanya pemaparan (length
of exposure) antara sumber penularan (reservoir) dengan penderita.
C. Hubungan Lingkungan Kerja dan Penyakit
Akibat Kerja
Penyakit akibat kerja dan/atau
berhubungan dengan pekerjaan dapat disebabkan oleh pemajanan di lingkungan
kerja. Dewasa ini terdapat kesenjangan antara pengetahuan ilmiah tentang
bagaimana bahaya-bahaya kesehatan berperan dengan usaha-usaha untuk
mencegahnya. Misalnya, antara penyakit yang sudah jelas penularannya (mwlalui
darah dan pemakaian jarum suntik yang berulang-ulang) atau perlindungan bagi
para pekerja rumah sakit yang belum memadai dengan kemungkinan terpajan melalui
kontak langsung.
The American Industrial Hygiene
Association membuat
batasan hygine/kesehatan lingkungan kerja sebagai ilmu dan seni yang ditujukan
untuk mengenal, mengevaluasi, dan mengendalikan semua faktor-faktor dan stres
lingkungan dari tempat kerja yang dapat menyebabkan gangguan kesehatan,
kesejahteraan, kenyamanan dan efisiensi di kalangan pekerja dan masyarakat.
Untuk dapat mengantisipasi dan
mengetahui kemungkinan bahaya-bahaya di lingkungan kerja yang diperkirakan
dapat menimbulkan penyakit akibat kerja utamanya terhadap para pekerja,
ditempuh tiga langkah utama yaitu pengenalan, evaluasi, dan pengendalian dari
berbagai bahaya dan risiko kerja.
1. Pengenalan Lingkungan (Recognition)
Pengenalan lingkungan kerja ini biasanya dilakukan
dengan cara melihat dan mengenal (walk through inpection), dan ini
merupakan langkah dasar yang pertama kali dilakukan dalam upaya kesehatan
kerja.
2. Evaluasi Lingkungan Kerja (Evaluation)
Merupakan tahap penilaian karakteristik dan besarnya
potensi-potensi bahaya yang mungkin timbul, sehingga dapat dijadikan alat untuk
menentukan prioritas dalam mengatasi permasalahan.
3. Pengendalian Lingkungan Kerja
Dimaksudkan untuk mengurangi atau
menghilangkan pemajanan terhadap zat atau bahan yang berbahaya di lingkungan
kerja. Kedua tahapan sebelumnya, pengenalan dan evaluasi, tidak dapat menjamin
sebuah lingkungan kerja yang sehat. Jadi hanya dicapai dengan teknologi
pengendalian yang adekuat untuk mencegah efek kesehatan yang merugikan di
kalangan para pekerja.
a. Pengendalian lingkungan (environmental control
measures)
-
Desain
dan tata letak yang adekuat
-
Penghilangan
atau pengurangan bahan berbahaya pada sumbernya.
b. Pengendalian orang (personal control measures)
Penggunaan
alat pelindung perorangan merupakan alternatif lain untuk melindungi pekerja
dari bahaya kesehatan. Namun alat pelindung perorangan harus sesuai dan
adekuat. Pembatasan waktu selama pekerja terpajan zat tertentu yang berbahaya
dapat menurunkan risiko terkenanya bahaya kesehatan di lingkungan kerja.
Kebersihan perorangan dan pakaiannya merupakan hal yang penting terutama untuk
pekerja yang dalam pekerjaannya berhubungan dengan bahan kimia serta partikel
lain.
D. Keselamatan Kerja dan Pencegahan Kecelakaan
Menurut Peraturan Menteri Tenaga Kerja
RI Nomor: 03/MEN/1998 tentang Tata Cara Pelaporan dan Pemeriksaan Kecelakaan
bahwa yang dimaksud dengan kecelakaan adalah suatu kejadian yang tidak
dikehendaki dan tidak diduga semula yang dapat menimbulkan korban manusia dan
atau harta benda.
Kecelakaan merupakan suatu kejadian yang
tidak direncanakan dan tidak dikendalikan dimana tindakan atau reaksi dari
suatu objek, senyawa, atau orang menimbulkan cedera atau probabilitasnya
terhadap individu. Sebagian besar kecelakaan sebenarnya disebabkan oleh
pelepasan yang tidak direncanakan atau tidak diinginkan dari sejumlah besar
energi (mekanik, listrik, kimia, panas, radiasi pengion) atau bahan berbahaya
(seperti karbon monoksida, karbon dioksida, hidrogen sulfida, metana).
Namun demikian, dengan sedikit
pengecualian, pelepasan energi tersebut sebenarnya disebabkan karena tindakan
tidak aman (unsafe acts) dan kondisi tidak aman (unsafe condition).
Jadi, tindakan dan kondisi yang tidak aman ini dapat menjadi pemicu atau
pencetus pelepasan dari sejumlah besar energi atau bahan-bahan berbahaya yang
menimbulkan kecelakaan. Sementara kita sering kali berpikir mengenai kondisi
dan tindakan yang berbahaya sebagai penyebab timbulnya kecelakaan, kedua hal
tersebut sebenarnya hanyalah gejala-gejala dari suatu kesalahan. Penyabab
dasarnya biasanya dapat ditelusuri dan berasal dari kebijakan manajemen dan
pengambilan keputusan yang buruk, faktor individu, dan faktor lingkungan.
Secara umum, dua penyebab terjadinya
kecelakaan kerja adalah penyebab dasar (basic causes) dan penyebab
langsung (immediate causes).
Penyebab
dasar
-
Faktor
manusia atau pribadi, antara lain karena kurangnya kemampuan fisik, mental, dan
psikologis; kurang atau lemahnya pengetahuan dan keterampilan (keahlian);
stres; dan motivasi yang tidak cukup atau salah.
-
Faktor
kerja atau lingkungan, antara lain karena ketidakcukupan kemampuan kepemimpinan
dan/atau pengawasan, rekayasa (engineering), pembelian atau pengadaan
barang, perawatan (maintenance), alat-alat, perlengkapan, dan
barang-barang atau bahan-bahan, standar-standar kerja, serta berbagai
penyalahgunaan yang terjadi di lingkungan kerja.
Penyebab langsung
-
Kondisi berbahaya
(kondisi tidak standar-unsafe condition), yaitu tindakan yang akan
menyebabkan kecelakaan misalnya peralatan pengaman, pelindung, atau rintangan
yang tidak memadai atau tidak memenuhi syarat, bahan dan peralatan yang rusak,
terlalu sesak atau sempit, sistem-sistem tanda peringatan yang kurang memadai,
bahaya-bahaya kebakaran dan ledakan, kerapian atau tata letak (housekeeping)
yang buruk, lingkungan berbahaya atau beracun (gas, debu, asap, uap, dan
lainnya), bising, paparan radiasi, serta ventilasi dan penerangan yang kurang
(B.Sugeng, 2003).
-
Tindakah
berbahaya (tindakan yang tidak standar-unsafe act), yaitu tingkah laku,
tindak-tanduk, atau perbuatan yang akan menyebabkan kecelakaan misalnya
mengoperasikan alat tanpa wewenang, gagal untuk memberi peringatan dan
pengamanan, bekerja dengan kecepatan yang salah, menyebabkan alat-alat
keselamatan tidak berfungsi, memindahkan alat-alat keselamatan, menggunakan
alat yang rusak, menggunakan alat dengan cara yang salah, serta kegagalan
memakai alat pelindung atau keselamatan diri secara benar (B. Sugeng, 2003).
Aktivitas pencegahan dini terhadap
kecelakaan kebanyakan mencakup hanya identifikasi dan koreksi dari kondisi dan
tindakan yang tidak aman. Walaupun hal ini mempunyai arti yang penting, dewasa
ini kita mengetahui bahwa peningkatan dan perbaikan jangka panjang dapat dibuat
dengan cara mengidentifikasi dan mengoreksi penyebab dasar (basic causes).
Hal ini dapat dikelompokkan menjadi tiga kategori yang saling terkait, yaitu:
a. Manajemen kebijakan keselamatan dan pengambilan
keputusan, mencakup antara lain langkah-langkah manajemen yang berhubungan
dengan keselamatan kerja; prosedur kepegawaian/stafing; seleksi, training,
penempatan, dan supervisi pekerja; arahan dan supervisi; prosedur komunikasi;
prosedur inspeksi; desain dan pemeliharaan peralatan; prosedur pekerjaan
standar dan darurat; dan kebersihan dan pemeliharaan rumah tangga.
b. Faktor individu, mencakup motivasi; kemampuan;
pengetahuan dan keterampilan; pelatihan; kesadaran tentang keselamatan kerja;
kondisi mental dan fisik; kinerja; waktu reaksi; dan perhatian dan pemeliharaan
perorangan.
c. Faktor lingkungan, meliputi suhu, tekanan, kelembaban,
debu, gas, uap, kebisingan, pencahayaan, polusi udara, dan keadaan sekitar
(lantai licin, objek berbahaya, pelindung yang tidak adekuat).
E. Penerapan Konsep Lima Tingkatan
Pencegahan Penyakit Akibat Kerja
Berikut ini adalah penerapan konsep lima
tingkatan pencegahan penyakit (five level of prevention diseases) pada
penyakit akibat kerja:
1. Peningkatan kesehatan (health promotion)
misalnya pendidikan kesehatan, meningkatkan gizi yang baik, pengembangan
kepribadian, perusahaan yang sehat dan memadai, rekreasi, lingkungan kerja yang
memadai, penyuluhan perkawinan dan pendidikan seksual, konsultasi tentang
keturunan dan pemeriksaan kesehatan periodik.
2. Perlindungan khusus (specific protection),
misalnya imunisasi, higiene perorangan, sanitasi lingkungan, serta proteksi
terhadap bahaya dan kecelakaan kerja.
3. Diagnosis dini dan pengobatan tepat (early
diagnosis and prompt treatment), misalnya diagnosis dini setiap keluhan dan
pengobatan segera serta pembatasan titik-titik lemah untuk mencegah terjadinya
komplikasi.
4. Membatasi kemungkinan cacat (disability limitation),
misalnya: memeriksa dan mengobati tenaga kerja secara komprehensif, mengobati
tenaga kerja secara sempurna, dan pendidikan kesehatan.
5. Pemulihan kesehatan (rehabilitation). Misalnya:
rehabilitasi dan mempekerjakan kembali para pekerja yang menderita cacat.
Sedapat mungkin perusahaan mencoba menempatkan karyawan-karyawan cacat di
jabatan-jabatan yang sesuai.
F. Fungsi dan Tugas Perawat dalam
Keselamatan dan Kesehatan Kerja
Fungsi dan tugas perawat dalam usaha keselamatan dan
kesehatan kerja (K3) di industri adalah sebagai berikut (Nasrul Effendy, 1998)
a. Fungsi perawat
-
Mengkaji
masalah kesehatan.
-
Menyusun
rencana asuhan keperawatan pekerja.
-
Melaksanakan
pelayanan kesehatan dan keperawatan terhadap pekerja.
-
Melakukan
penilaian terhadap asuhan keperawatan yang telah dilakukan.
b. Tugas perawat
-
Mengawasi
lingkungan pekerja.
-
Memelihara
fasilitas kesehatan perusahaan.
-
Berkolaborasi
dokter dalam pemeriksaan kesehatan pekerja.
-
Melakukan
penilaian terhadap keadaan kesehatan pekerja.
-
Merencanakan
dan melaksanakan kunjungan rumah dan perawatan di rumah kepada pekerja dan
keluarga pekerja yang mempunyai masalah kesehatan.
-
Ikut
berperan dalam penyelenggaraan pendidikan K3 terhadap pekerja.
-
Ikut
berperan dalam usaha keselamatan kerja.
-
Memberikan
pendidikan kesehatan mengenai KB terhadap pekerja dan keluarganya.
-
Membantu
usaha penyelidikan kesehatan pekerja.
-
Mengoordinasi
dan mengawasi pelaksanaan K3.
Daftar Pustaka
Anonim. http://www.depkes.go.id/index.php/berita/press-release/407-standar-perlindungan-pasien-perlu-
disosialisasikan-ke-seluruh-rumah-sakit.html
diakses tanggal 20 Oktober 2011.
Darmadi. Infeksi Nosokomial:
Problematika dan Pengendaliannya. Jakarta: Salemba Medika, 2008.
Hariandja, Marihot T.E. Manajemen
Sumber Daya Manusia: Pengadaan, Pengembangan, Pengkompensasian, dan Peningkatan
Produktivitas Pegawai. Jakarta: Grasindo 2010.
Ratna I.S. Infeksi Nosokomial.
Sumber: tabloid BIDI, Rabu 10 November 2004. Dikutip dari Buletin PDGI Jakarta
Barat vol. 01 no. 01. Desember 2005. http://www.pdgi-online.com/v2/index.php?option=com_content&task=view&id=410&Itemid=1 diakses tanggal 20 Oktober 2011.
Sumantri, Arif. Kesehatan
Lingkungan dan Perspektif Islam. Jakarta: Kencana, 2010.
WHO. Pengelolaan aman limbah
layanan kesehatan / editor, A. Pruss, dkk. Alih bahasa, Fauziah, Munaya
dkk. Jakarta: EGC, 2005.
Efendi, Ferry. Makhfudli. Keperawatan
Kesehatan Komunitas: Teori dan Praktik dalam Keperawatan. Jakarta: Salemba
Medika, 2009.