Sabtu, 12 November 2011

FAKTOR KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA (K3) TERHADAP INFEKSI NOSOKOMIAL

Pendahuluan
Pelaksanaan keselamatan dan kesehatan kerja adalah salah satu bentuk upaya untuk menciptakan tempat kerja yang aman, sehat, bebas dari pencemaran lingkungan, sehingga dapat mengurangi dan atau bebas dari kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja yang pada akhirnya dapat meningkatkan efisiensi dan produktivitas kerja.
Kecelakaan kerja tidak hanya menimbulkan korban jiwa maupun kerugian materi bagi pekerja dan perusahaan (tempat kerja), tetapi juga dapat mengganggu proses produksi secara menyeluruh, merusak lingkungan yang pada akhirnya akan berdampak pada masyarakat luas.
Dewasa ini pembangunan nasional tergantug banyak kepada kualitas, kompetensi dan profesionalisme sumber daya manusia yang termasuk praktisi keselamatan dan kesehatan kerja (K3). Pada hakikatnya kesehatan kerja mempelajari semua faktor yang berhubungan dengan pekerjaan, metode kerja, kondisi kerja, dan lingkungan kerja yang mungkin dapat menyebabkan penyakit, kecelakaan, atau gangguan kesehatan lain. Secara bertahap, lingkup tersebut diperluas sebagai hasil-hasil penelitian yang memperjelas akan pentingnya ketiga elemen tersebut serta kaitannya terhadap hubungan timbal balik antara pekerjaan dengan berbagai kendala yang ada di dalam pekerjaan di satu pihak, dan manusia yang melaksanakan pekerjaan dengan kendala yang terjadi di dalam pekerjaan di lain pihak.
Pekerja di dunia berjumlah 2,7 milyar, 312.000 mati akibat kecelakaan kerja, sedangkan di Amerika serikat dari 150 juta pekerja hanya 6000 mati karena kecelakaan kerja, 10 juta DALYs (Ezzaty dkk, 2004 dalam Arif 2010).
Dewan keselamatan dan kesehatan kerja nasional, Dr. Harjono, Msc, mengatakan bahwa berdasarkan data ILO (2003) setiap tahun di dunia terjadi 270 juta kecelakaan kerja, 160 juta pekerja menderita penyakit akibat kerja, kematian 2,2 juta serta kerugian finansial sebesar 1,25 triliun USD. Di Indonesia menurut data PT. Jamsostek (persero) dalam periode 2002-2005 terjadi lebih dari 300 ribu kecelakaan kerja, 5000 kematian, 500 cacat tetap dan kompensasi lebih dari Rp. 550 milyar.
Menurut menteri kesehatan dr. Endang R. Sedyaningsih, Peningkatan jumlah sarana pelayanan kesehatan dalam dua dekade terakhir belum diikuti peningkatan kualitas layanan medik. Hal ini dapat dilihat dari 1.292 rumah sakit yang ada di seluruh Indonesia baru 60 persen diantaranya yang terakreditasi. Dari yang sudah terakreditasi pun belum semuanya menerapkan prosedur perlindungan pasien.
Data empirik membuktikan masalah medical error (kesalahan medis) sering terjadi dalam derajat yang beragam, menurut laporan IOM (Institute of Medicine) menyebutkan bahwa Amerika Serikat setiap tahun terjadi 48.000 hingga 100.000 pasien meninggal dunia akibat kesalahan medis.

A.    Keselamatan dan Kesehatan Kerja
Kesehatan kerja adalah suatu upaya untuk peningkatan dan pemeliharaan derajat kesehatan (fisik, mental dan sosial) yang setinggi-tingginya bagi pekerja di semua tingkatan, pencegahan penyimpangan kesehatan yang disebabkan oleh kondisi pekerjaan, perlindungan pekerjaan dan risiko akibat faktor yang merugikan kesehatan, penempatan dan pemeliharaan pekerja dalam suatu lingkungan kerja yang adaptif antara pekerjaan dengan manusia dan manusia dengan pekerjaannya (WHO & ILO, 1995).
Berdasarkan teori Maslow, keamanan kerja merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia yang dapat mempengaruhi motivasi dan kepuasan kerja. Secara sosial, pekerja merupakan aset masyarakat sebagai subyek dalam usaha meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu, perusahaan (tempat kerja) berkewajiban melakukan berbagai kegiatan dalam meningkatkan keselamatan dan kesehatan kerja.
Secara umum, kewajiban kewajiban perusahaan dalma meningkatkan keselamatan kerja dapat disimpulkan sebagai berikut:
1.      Memelihara tempat kerja yang aman dan sehat bagi pekerja.
2.      Mematuhi standar dan syarat kerja.
3.      Mencatat semua peristiwa kecelakaan yang terjadi terkait keselamatan kerja.
Secara spesifik kewajiban tersebut diatur dalam Undang-Undang No. 1 tahun 1970 pasal 3 ayat 1 tentang Keselamatan dan Kesehatan Kerja, yaitu:
1.      Mencegah dan mengurangi kecelakaan.
2.      Mencegah, mengurangi, dan memadamkan kebakaran.
3.      Mencegah dan mengurangi bahaya peledakan.
4.      Memberi kesempatan atau jalan menyelamatkan pada waktu kebakaran atau kejadian-kejadian lain yang berbahaya.
5.      Memberi pertolongan pada kecelakaan.
6.      Memberi alat-alat pelindung diri pada pekerja.
7.      Mencegah dan mengendalikan timbul atau menyebar luasnya suhu, kelembaban, debu, kotoran asap, uap, gas, hembusan angin, cuaca, sinar atau radiasi, suara dan getaran.
8.      Mencegah dan mengendalikan timbulnya penyakit akibat kerja baik fisik maupun psikis, peracunan, infeksi dan penularan.
9.      Memperoleh penerangan yang cukup dan sesuai.
10.  Menyelenggarakan suhu dan lembab udara yang baik.
11.  Menyelenggarakan penyegaran udara yang cukup.
12.  Memelihara kebersihan, kesehatan, dan ketertiban.
13.  Memperoleh keserasian antara tenaga kerja, alat kerja, lingkungan, cara, dan proses kerjanya.
14.  Mengamankan dan memperlancar pengangkutan orang, binatang, tanaman dan barang.

B.     Nosokomial Infeksi
Nosokomial berasal dari bahasa Yunani nosos yang artinya penyakit dan komeo yang berarti merawat. Nosokomion berarti tempat untuk merawat/rumah sakit. Jadi infeksi nosokomial dapat diartikan sebagai infeksi yang diperoleh atau terjadi di rumah sakit.
Infeksi nosokomial saat ini merupakan salah satu penyebab meningkatnya angka kematian (morbidity) dan angka kematian (mortality) di rumah sakit, sehingga dapat menjadi masalah kesehatan baru, baik di negara berkembang maupun di negara maju.
Infeksi nosokomial dikenal pertama kali pada tahun 1847 oleh Semmelweis dan hingga saat ini tetap menjadi masalah yang cukup menyita perhatian. Sejak tahun 1950 infeksi nosokomial mulai diteliti dengan sungguh-sungguh di berbagai negara, terutama di amerika serikat dan Eropa. Insiden infeksi nosokomial berlainan antara satu rumahsakit dengan rumah sakit lainnya. Angka infeksi nosokomial yang tercatat di beberapa negara berkisar antara 3,3%-9,2%, artinya sekian persen penderita yang dirawat tertular infeksi nosokomial dan dapat terjadi secara akut atau kronis.
Saat ini, angka kejadian infeksi nosokomial telah dijadikan salah satu tolok ukur mutu pelayanan rumah sakit. Izin operasional sebuah rumah sakit bisa dicabut karena tingginya angka kejadian infeksi nosokomial. Bahkan pihak asuransi tidak mau membayar biaya yang ditimbulkan akibat infeksi nosokomial sehingga pihak penderita sangat dirugikan.
Faktor-faktor yang berpengaruh dalam proses terjadinya infeksi nosokomial terdiri dari banyak faktor (multy factors) yakni faktor dari luar penderita (extrinsic factors) dan faktor dari dalam diri penderita (intrinsic factors), sebagai berikut:
Faktor luar (extrinsic factors)
a.       Petugas pelayanan medis
Dokter, perawat, bidan, tenaga laboratorium, dan sebagainya.
b.      Peralatan dan material medis
Jarum, kateter, instrumen, respirator, kain/doek, kassa, dan lain-lain.
c.       Lingkungan
Berupa lingkungan internal seperti ruangan perawatan, kamar bersalin, dan kamar bedah. Sedangkan lingkungan eksternal adalah halaman rumah sakit dan tempat pembuangan sampah/pengolahan limbah.
d.      Makanan/minuman
Hidangan yang disajikan setiap saat kepada penderita.
e.       Penderita lain
Keberadaan penderita lain dalam satu kamar/ruangan perawatan dapat merupakan sumber penularan.
f.       Pengunjung/keluarga
Keberadaan tamu/keluarga dapat merupakan sumber penularan.

            Faktor dari dalam diri penderita (intrinsic factors)
a.       Faktor yang ada dari dalam diri penderita seperti umur, jenis kelamin, kondisi umum penderita, risiko terapi, atau adanya penyakit lain yang menyertai penyakit dasar (multipatologi) beserta komplikasinya. Faktor-faktor ini merupakan faktor predisposisi.
b.      Faktor keperawatan seperti lamanya hari perawatan (length of stay), menurunnya standar pelayanan perawatan, serta padatnya penderita dalam satu ruangan.
c.       Faktor mikroba patogen seperti tingkat kemampuan invasi serta tingkat kemampuan merusak jaringan, lamanya pemaparan (length of exposure) antara sumber penularan (reservoir) dengan penderita.

C.    Hubungan Lingkungan Kerja dan Penyakit Akibat Kerja
Penyakit akibat kerja dan/atau berhubungan dengan pekerjaan dapat disebabkan oleh pemajanan di lingkungan kerja. Dewasa ini terdapat kesenjangan antara pengetahuan ilmiah tentang bagaimana bahaya-bahaya kesehatan berperan dengan usaha-usaha untuk mencegahnya. Misalnya, antara penyakit yang sudah jelas penularannya (mwlalui darah dan pemakaian jarum suntik yang berulang-ulang) atau perlindungan bagi para pekerja rumah sakit yang belum memadai dengan kemungkinan terpajan melalui kontak langsung.
The American Industrial Hygiene Association membuat batasan hygine/kesehatan lingkungan kerja sebagai ilmu dan seni yang ditujukan untuk mengenal, mengevaluasi, dan mengendalikan semua faktor-faktor dan stres lingkungan dari tempat kerja yang dapat menyebabkan gangguan kesehatan, kesejahteraan, kenyamanan dan efisiensi di kalangan pekerja dan masyarakat.
Untuk dapat mengantisipasi dan mengetahui kemungkinan bahaya-bahaya di lingkungan kerja yang diperkirakan dapat menimbulkan penyakit akibat kerja utamanya terhadap para pekerja, ditempuh tiga langkah utama yaitu pengenalan, evaluasi, dan pengendalian dari berbagai bahaya dan risiko kerja.
1.      Pengenalan Lingkungan (Recognition)
Pengenalan lingkungan kerja ini biasanya dilakukan dengan cara melihat dan mengenal (walk through inpection), dan ini merupakan langkah dasar yang pertama kali dilakukan dalam upaya kesehatan kerja.
2.      Evaluasi Lingkungan Kerja (Evaluation)
Merupakan tahap penilaian karakteristik dan besarnya potensi-potensi bahaya yang mungkin timbul, sehingga dapat dijadikan alat untuk menentukan prioritas dalam mengatasi permasalahan.
3.      Pengendalian Lingkungan Kerja
Dimaksudkan untuk mengurangi atau menghilangkan pemajanan terhadap zat atau bahan yang berbahaya di lingkungan kerja. Kedua tahapan sebelumnya, pengenalan dan evaluasi, tidak dapat menjamin sebuah lingkungan kerja yang sehat. Jadi hanya dicapai dengan teknologi pengendalian yang adekuat untuk mencegah efek kesehatan yang merugikan di kalangan para pekerja.
a.       Pengendalian lingkungan (environmental control measures)
-          Desain dan tata letak yang adekuat
-          Penghilangan atau pengurangan bahan berbahaya pada sumbernya.
b.      Pengendalian orang (personal control measures)
Penggunaan alat pelindung perorangan merupakan alternatif lain untuk melindungi pekerja dari bahaya kesehatan. Namun alat pelindung perorangan harus sesuai dan adekuat. Pembatasan waktu selama pekerja terpajan zat tertentu yang berbahaya dapat menurunkan risiko terkenanya bahaya kesehatan di lingkungan kerja. Kebersihan perorangan dan pakaiannya merupakan hal yang penting terutama untuk pekerja yang dalam pekerjaannya berhubungan dengan bahan kimia serta partikel lain.

D.    Keselamatan Kerja dan Pencegahan Kecelakaan
Menurut Peraturan Menteri Tenaga Kerja RI Nomor: 03/MEN/1998 tentang Tata Cara Pelaporan dan Pemeriksaan Kecelakaan bahwa yang dimaksud dengan kecelakaan adalah suatu kejadian yang tidak dikehendaki dan tidak diduga semula yang dapat menimbulkan korban manusia dan atau harta benda.
Kecelakaan merupakan suatu kejadian yang tidak direncanakan dan tidak dikendalikan dimana tindakan atau reaksi dari suatu objek, senyawa, atau orang menimbulkan cedera atau probabilitasnya terhadap individu. Sebagian besar kecelakaan sebenarnya disebabkan oleh pelepasan yang tidak direncanakan atau tidak diinginkan dari sejumlah besar energi (mekanik, listrik, kimia, panas, radiasi pengion) atau bahan berbahaya (seperti karbon monoksida, karbon dioksida, hidrogen sulfida, metana).
Namun demikian, dengan sedikit pengecualian, pelepasan energi tersebut sebenarnya disebabkan karena tindakan tidak aman (unsafe acts) dan kondisi tidak aman (unsafe condition). Jadi, tindakan dan kondisi yang tidak aman ini dapat menjadi pemicu atau pencetus pelepasan dari sejumlah besar energi atau bahan-bahan berbahaya yang menimbulkan kecelakaan. Sementara kita sering kali berpikir mengenai kondisi dan tindakan yang berbahaya sebagai penyebab timbulnya kecelakaan, kedua hal tersebut sebenarnya hanyalah gejala-gejala dari suatu kesalahan. Penyabab dasarnya biasanya dapat ditelusuri dan berasal dari kebijakan manajemen dan pengambilan keputusan yang buruk, faktor individu, dan faktor lingkungan.
Secara umum, dua penyebab terjadinya kecelakaan kerja adalah penyebab dasar (basic causes) dan penyebab langsung (immediate causes).
Penyebab dasar
-          Faktor manusia atau pribadi, antara lain karena kurangnya kemampuan fisik, mental, dan psikologis; kurang atau lemahnya pengetahuan dan keterampilan (keahlian); stres; dan motivasi yang tidak cukup atau salah.
-          Faktor kerja atau lingkungan, antara lain karena ketidakcukupan kemampuan kepemimpinan dan/atau pengawasan, rekayasa (engineering), pembelian atau pengadaan barang, perawatan (maintenance), alat-alat, perlengkapan, dan barang-barang atau bahan-bahan, standar-standar kerja, serta berbagai penyalahgunaan yang terjadi di lingkungan kerja.
Penyebab langsung
-          Kondisi berbahaya (kondisi tidak standar-unsafe condition), yaitu tindakan yang akan menyebabkan kecelakaan misalnya peralatan pengaman, pelindung, atau rintangan yang tidak memadai atau tidak memenuhi syarat, bahan dan peralatan yang rusak, terlalu sesak atau sempit, sistem-sistem tanda peringatan yang kurang memadai, bahaya-bahaya kebakaran dan ledakan, kerapian atau tata letak (housekeeping) yang buruk, lingkungan berbahaya atau beracun (gas, debu, asap, uap, dan lainnya), bising, paparan radiasi, serta ventilasi dan penerangan yang kurang (B.Sugeng, 2003).
-          Tindakah berbahaya (tindakan yang tidak standar-unsafe act), yaitu tingkah laku, tindak-tanduk, atau perbuatan yang akan menyebabkan kecelakaan misalnya mengoperasikan alat tanpa wewenang, gagal untuk memberi peringatan dan pengamanan, bekerja dengan kecepatan yang salah, menyebabkan alat-alat keselamatan tidak berfungsi, memindahkan alat-alat keselamatan, menggunakan alat yang rusak, menggunakan alat dengan cara yang salah, serta kegagalan memakai alat pelindung atau keselamatan diri secara benar (B. Sugeng, 2003).
Aktivitas pencegahan dini terhadap kecelakaan kebanyakan mencakup hanya identifikasi dan koreksi dari kondisi dan tindakan yang tidak aman. Walaupun hal ini mempunyai arti yang penting, dewasa ini kita mengetahui bahwa peningkatan dan perbaikan jangka panjang dapat dibuat dengan cara mengidentifikasi dan mengoreksi penyebab dasar (basic causes). Hal ini dapat dikelompokkan menjadi tiga kategori yang saling terkait, yaitu:
a.       Manajemen kebijakan keselamatan dan pengambilan keputusan, mencakup antara lain langkah-langkah manajemen yang berhubungan dengan keselamatan kerja; prosedur kepegawaian/stafing; seleksi, training, penempatan, dan supervisi pekerja; arahan dan supervisi; prosedur komunikasi; prosedur inspeksi; desain dan pemeliharaan peralatan; prosedur pekerjaan standar dan darurat; dan kebersihan dan pemeliharaan rumah tangga.
b.      Faktor individu, mencakup motivasi; kemampuan; pengetahuan dan keterampilan; pelatihan; kesadaran tentang keselamatan kerja; kondisi mental dan fisik; kinerja; waktu reaksi; dan perhatian dan pemeliharaan perorangan.
c.       Faktor lingkungan, meliputi suhu, tekanan, kelembaban, debu, gas, uap, kebisingan, pencahayaan, polusi udara, dan keadaan sekitar (lantai licin, objek berbahaya, pelindung yang tidak adekuat).

E.     Penerapan Konsep Lima Tingkatan Pencegahan Penyakit Akibat Kerja
Berikut ini adalah penerapan konsep lima tingkatan pencegahan penyakit (five level of prevention diseases) pada penyakit akibat kerja:
1.      Peningkatan kesehatan (health promotion) misalnya pendidikan kesehatan, meningkatkan gizi yang baik, pengembangan kepribadian, perusahaan yang sehat dan memadai, rekreasi, lingkungan kerja yang memadai, penyuluhan perkawinan dan pendidikan seksual, konsultasi tentang keturunan dan pemeriksaan kesehatan periodik.
2.      Perlindungan khusus (specific protection), misalnya imunisasi, higiene perorangan, sanitasi lingkungan, serta proteksi terhadap bahaya dan kecelakaan kerja.
3.      Diagnosis dini dan pengobatan tepat (early diagnosis and prompt treatment), misalnya diagnosis dini setiap keluhan dan pengobatan segera serta pembatasan titik-titik lemah untuk mencegah terjadinya komplikasi.
4.      Membatasi kemungkinan cacat (disability limitation), misalnya: memeriksa dan mengobati tenaga kerja secara komprehensif, mengobati tenaga kerja secara sempurna, dan pendidikan kesehatan.
5.      Pemulihan kesehatan (rehabilitation). Misalnya: rehabilitasi dan mempekerjakan kembali para pekerja yang menderita cacat. Sedapat mungkin perusahaan mencoba menempatkan karyawan-karyawan cacat di jabatan-jabatan yang sesuai.

F.     Fungsi dan Tugas Perawat dalam Keselamatan dan Kesehatan Kerja
Fungsi dan tugas perawat dalam usaha keselamatan dan kesehatan kerja (K3) di industri adalah sebagai berikut (Nasrul Effendy, 1998)
a.       Fungsi perawat
-          Mengkaji masalah kesehatan.
-          Menyusun rencana asuhan keperawatan pekerja.
-          Melaksanakan pelayanan kesehatan dan keperawatan terhadap pekerja.
-          Melakukan penilaian terhadap asuhan keperawatan yang telah dilakukan.

b.      Tugas perawat
-          Mengawasi lingkungan pekerja.
-          Memelihara fasilitas kesehatan perusahaan.
-          Berkolaborasi dokter dalam pemeriksaan kesehatan pekerja.
-          Melakukan penilaian terhadap keadaan kesehatan pekerja.
-          Merencanakan dan melaksanakan kunjungan rumah dan perawatan di rumah kepada pekerja dan keluarga pekerja yang mempunyai masalah kesehatan.
-          Ikut berperan dalam penyelenggaraan pendidikan K3 terhadap pekerja.
-          Ikut berperan dalam usaha keselamatan kerja.
-          Memberikan pendidikan kesehatan mengenai KB terhadap pekerja dan keluarganya.
-          Membantu usaha penyelidikan kesehatan pekerja.
-          Mengoordinasi dan mengawasi pelaksanaan K3.

Daftar Pustaka

Darmadi. Infeksi Nosokomial: Problematika dan Pengendaliannya. Jakarta: Salemba Medika, 2008.
Hariandja, Marihot T.E. Manajemen Sumber Daya Manusia: Pengadaan, Pengembangan, Pengkompensasian, dan Peningkatan Produktivitas Pegawai. Jakarta: Grasindo 2010.
Ratna I.S. Infeksi Nosokomial. Sumber: tabloid BIDI, Rabu 10 November 2004. Dikutip dari Buletin PDGI Jakarta Barat vol. 01 no. 01. Desember 2005. http://www.pdgi-online.com/v2/index.php?option=com_content&task=view&id=410&Itemid=1 diakses tanggal 20 Oktober 2011.
Sumantri, Arif. Kesehatan Lingkungan dan Perspektif Islam. Jakarta: Kencana, 2010.
WHO. Pengelolaan aman limbah layanan kesehatan / editor, A. Pruss, dkk. Alih bahasa, Fauziah, Munaya dkk. Jakarta: EGC, 2005.
Efendi, Ferry. Makhfudli. Keperawatan Kesehatan Komunitas: Teori dan Praktik dalam Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika, 2009.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terimakasih atas komentar anda.